“Ibu, ibu, ibu, mengapa di kupingku selalu ada suara gemuruh air bergulung?”
“Gemuruh? Gemuruh seperti apa, Nak?”
“Seperti pertama kali Ibu membawaku ke Wohkudu.”
“Maksudmu seperti suara ombak?”
“Nah iya, seperti itu.”
“Kapan pertama kali kamu menyadarinya?”
“Beberapa minggu lalu. Aku bermimpi juga dihujani pasir-pasir, berwarna merah muda, coklat kemudaan. Malam setelahnya aku juga bermimpi tuts-tuts piano kamarku beterbangan mengelilingi wajahku.”
“Hmm.. mimpimu absurd sekali..”
“Ibu mengerti?”
“Tidak. Tapi kakekmu pernah bermimpi seperti itu juga. Diceritakannya berulang-ulang kepada kami, anak-anaknya, dan cucu-cucunya. Ibu lupa cerita kepadamu karena Ibu rasa ini tidak penting.”
***
Lima tahun sejak percakapan petang di hari Kamis itu. Telingaku tidak sama lagi. Setiap hari aku harus hidup dengan telinga yang bergemuruh, aku tinggal di kota besar, tetapi seakan-akan kamarku langsung menghadap samudera. Ibu juga telah membawaku ke dokter—dokter umum, dokter spesialis, cenayang, tabib, usada. Sebutlah semua penjuru pengobatan, namun semua tidak punya jawabannya. Jika kalian membayangkan seperti white noise yang berdampak pada menurunnya kepekaan pendengaranku, bukan. Bukan seperti itu. Aku mencoba mendefinisikan sedetail mungkin kepada orang-orang. Sederhananya, Aku seperti membawa laut kemanapun. Di dalam busway, ketika lari di GBK, ketika gereja, bahkan ketika mandi. Seolah-olah jalur busway, running track GBK, barisan kursi ibadah jemaat dan shower kamar mandiku terletak sejajar dengan bibir pantai.
Maka sejak saat itupula, ketika aku sudah bisa berdamai dengan suara gemuruh, Aku kerap mendatangi bibir-bibir laut. Tidak pernah ada jam pasti untuk mengunjungi. Mau tengah malam sekalipun, laut selalu menerimaku dengan senyum dan tentu saja, nasihat.
(Aku selalu merawat pertemuanku dengan laut walau telingaku hampir berdarah, karena Ia tak pernah menutup mulutnya ketika Aku datang menjenguk. Ada saja nasihatnya, dari penampilan, finansial, percintaan, bahkan spiritual. Kupikir, ketika Laut sedang sibuk, dan Aku menyempatkan berkunjung, Ia akan dalam kondisi tidak mood dan menemaniku dalam hening saja. Oh ternyata tidak, lewat angin, burung, atau perahu-perahu nelayan, Ia menyampaikan nasihat-nasihatnya. Tidak peduli Aku datang dalam kondisi bahagia, patah, gamang atau sumringah. Selalu saja ada celoteh.)
No comments:
Post a Comment