Wednesday, July 9, 2025

AYAM YANG TAK MAU MATI

Di sebuah desa yang tak lagi disebut dalam peta, tinggal seekor ayam jantan bernama Sora. Ia bukan ayam sembarang, bukan pula ayam aduan atau ayam cemani. Ia ayam biasa, bulu cokelat kusam, jenggernya menggelantung lemas seperti bendera setengah tiang. Yang luar biasa darinya cuma satu: ia bisa berpikir.

Sora tinggal di tengah sawah yang dulu subur, kini mengering. Rumput menguning seperti mulut orang tua yang lupa minum. Lalat pun ogah mampir. Pernah suatu waktu Sora bicara sendiri, “Kalau sawah sudah mati, apa gunanya hidup?” Tapi ia tak mati juga. Ia terlanjur terikat pada dunia ini seperti tali tambang pada tiang jemuran. Setiap pagi ia berkokok, bukan karena fajar, tapi karena kebiasaan. Tak ada lagi yang mendengar selain angin dan seonggok karung pupuk yang tertiup pelan.

Dulu, sebelum matahari seperti bola lampu yang korslet, desa ini hidup dengan irama musim. Ada perempuan bernama Ima, gadis desa yang setiap sore mencuci kaki di selokan, menanak nasi dari beras yang ia tanam sendiri, dan memelihara Sora sejak masih anak ayam. Ima bersahaja. Ia percaya pada pepatah, pada langit, pada angin. Tapi itu dulu.

Ketika perusahaan-perusahaan mulai membeli tanah sawah dengan harga dua kali lipat nilai moral, banyak yang menjual. Ima marah, tapi ayahnya justru tertawa, “Lebih baik sawah kering dibeli orang, daripada kering tanpa guna,” katanya, sambil mengunyah sirih. Ima menangis diam-diam, sambil menggendong Sora.

Lalu ia pindah ke kota.

Di kota, Ima bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang pejabat kementerian lingkungan hidup. Ironis, ya? Tapi hidup memang suka bercanda. Majikannya, Bu Lestari, selalu berbicara soal ‘sustainability’ dengan artikulasi seperti presentasi PowerPoint: Green economy, carbon offset, eco-lifestyle. Di meja makan, Bu Lestari memarahi Ima karena plastik pembungkus tempe tidak digulung rapi. Tapi di pesta ulang tahun anaknya, mereka menyewa dekorasi balon satu truk penuh.

“Sampah itu masalah rakyat, bukan elite,” kata Pak Raka, suaminya, seorang pejabat yang suka sekali menyebut kata ‘konservasi’ sembari menyiram rumput sintetis di taman mereka. Ima mengangguk saja. Dalam hatinya, ia rindu tanah yang basah, suara kodok, dan ayam jantannya.

Sora tetap tinggal di desa. Ia melihat traktor datang, menggusur pohon pisang dan rumpun bambu. Ia menyaksikan ladang menjadi kompleks vila.  Sawah berubah jadi lapangan parkir. Tapi ia tak bisa lari. Ia sudah tua. Sayapnya lemah. Ia cuma bisa menatap langit sambil mengingat Ima.Suatu malam, seorang guru ngaji tua lewat depan sawah, membawa kitab dan lentera. Ia melihat Sora dan berhenti.

“Kau masih hidup, ayam?” katanya.

Sora memiringkan kepala. Ia tidak bicara, tentu saja. Ia ayam. Tapi ia mengerti.

“Kau tahu,” lanjut guru itu, “dulu Nabi Sulaiman bisa bicara pada binatang. Tapi sekarang manusia bahkan tak bisa mendengar bumi sendiri menangis.”

Guru itu tertawa pendek. Lalu bersabda entah kepada siapa, “Keseimbangan alam itu amanah. Tapi kita mengkhianatinya demi pendingin ruangan dan gengsi perkotaan.”

Lalu ia pergi, ditelan kabut malam yang membawa bau plastik terbakar.

Suatu hari, Ima pulang kampung. Bukan karena rindu. Tapi karena ayahnya meninggal dan tanah rumah hendak dijual. Ia berjalan melewati jalan desa yang kini berdebu seperti roti basi. Truk-truk proyek lewat membawa batu dan semen. Ia melihat Sora duduk di bawah bayangan bangunan setengah jadi. Ayam tua itu tampak kurus, tapi masih hidup. Ima terisak. Ia mengangkat Sora, memeluknya.

“Kau tidak mati?”

Sora mematuk pelan tangannya, seolah berkata: “Kau juga belum.”

Malam itu, Ima tidak tidur. Ia duduk di beranda rumah peninggalan ayahnya, menatap bulan yang tampak seperti lampion murung. Ia berpikir tentang semua: tentang sawah, tentang kota, tentang plastik yang tak pernah hancur, dan tentang anak-anak pejabat yang membeli air dalam botol kaca demi konten Instagram. Bumi adalah rumah, tapi mereka mendekornya seperti tempat pesta lalu pergi meninggalkan sampah.

Esoknya, Ima membuat keputusan aneh. Ia tidak kembali ke kota. Ia membeli bibit, menggali tanah dengan tangan. Ia menanam padi di sawah yang setengah mati. Orang-orang menganggapnya gila. Beberapa bulan berlalu. Ima tetap menanam, sendiri. Tak ada yang membantunya, kecuali Sora yang sesekali mencakar tanah lalu tidur di bawah bayangan caping. Sawahnya mulai menghijau, meskipun tipis. Orang-orang yang tadinya mencibir kini hanya diam dari jauh, menonton seperti menonton ayam sabung—penasaran siapa yang kalah duluan: Ima atau tanah.

Suatu pagi, datang mobil mewah ke desa. Platnya seperti kode rahasia dari langit ibu kota. Turunlah sekeluarga pejabat lengkap: sang ayah pejabat kementerian, sang ibu aktivis lingkungan sekaligus influencer, dan anak gadis mereka yang tampak seperti hasil digitalisasi estetika. Ima mengenali mereka, keluarga tempatnya dulu bekerja.

“Ima? Ini kamu?” kata Bu Lestari, mengenakan kacamata hitam besar yang memantulkan wajah sawah. Ima mengangguk. Tangannya penuh lumpur. Di belakangnya, Sora mengamati dari jauh, seperti seorang satpam spiritual.

 

Pak Raka turun sambil menutupi hidung. “Masih bau lumpur ya tempat ini. Tapi… kami tertarik. Kementerian ingin mengembangkan Eco-Tourism. Sawah kamu bisa jadi pilot project. Kami bangun homestay. Wisata edukatif. Sesi panen selfie. Kamu tinggal bagi hasil.”

Ima hanya menatap mereka. Lama.

“Tanah ini bukan tempat selfie,” katanya, “Ini tempat sembuh.”

No comments:

Post a Comment