Wednesday, July 9, 2025

DILMA, PIENG DAN MERBOU; LONCENG YANG MENOLAK BERDENTING

Di lembah yang bentuknya seperti cangkir raksasa, terkurung kabut putih dan pepohonan kurus, berdiri sebuah sekolah kayu yang warnanya telah lama menyerah pada musim. Mereka menyebutnya Madrasah Sendu, meskipun tidak ada pelajaran agama di dalamnya. Di sanalah tiga nama tumbuh dari akar yang berbeda; Dilma, si pendengar gema, Pieng, penebar tanda tanya,  dan Merbou, penjaga pintu yang tidak pernah terkunci. Sekolah itu enggan memiliki jam. Waktu diatur oleh bayangan burung yang terbang melewati jendela, atau suara daun yang jatuh pada lantai bambu. Para guru? Mereka tidak punya mulut; hanya papan-papan kayu yang memutar kalimat-kalimat usang lewat lidah kapur yang gemetar.

I. Dilma dan Telinga Ketiganya

Dilma lahir dari sebuah perahu. Ibunya seorang pembuat jaring, ayahnya tenggelam sebelum sempat memberi nama. Ia memiliki telinga ketiga di balik rambutnya yang selalu basah, dan katanya ia bisa mendengar suara-suara yang tidak pernah diucapkan. Di Madrasah Sendu, Dilma duduk paling belakang. Ia tidak mencatat, tidak bertanya. Tapi ia mendengar. Ia tahu saat huruf “A” mulai merasa malu, atau ketika angka “7” menyimpan dendam pada perkalian.

“Ilmu itu seperti angin,” katanya sekali, pada Pieng. “Kalau kau paksa masuk botol, ia akan jadi bisu.” Orang-orang menyebutnya aneh. Tapi Dilma tahu: pelajaran tidak selalu datang dari papan tulis. Kadang dari bunyi serangga, atau detak jari guru yang mengetuk meja tanpa sadar.

II. Pieng, Sang Pemelihara Koma

Pieng punya keinginan untuk memecah semua kalimat. Ia membenci titik, menyukai koma. “Titik adalah kematian,” ujarnya. “Koma masih memberi harapan.”

Ia membawa buku catatan dengan garis-garis diagonal. Di dalamnya, ia menulis ulang pelajaran hari itu—tapi selalu ia ubah. Jika pelajaran tentang segitiga, ia akan menggambar rumah berkaki tiga. Jika soal sejarah, ia menulis ulang masa lalu sebagai kemungkinan, bukan kepastian. Guru-guru kayu di Madrasah Sendu nampak tidak menyukai Pieng. Mereka lebih menyukai anak-anak yang meniru, bukan menyoal.

 “Kenapa sejarah hanya dihafal, bukan ditanyai?” tanya Pieng suatu hari, dan papan tulispun retak. Dilma mendengar sesuatu pecah dalam diam hari itu. Ia menoleh ke Pieng dan melihat: ada seekor burung bertengger di bahunya. Burung itu terbuat dari kata-kata yang ditolak.

 

III. Merbou, dan Pintu yang Selalu Terbuka

Merbou tak banyak bicara. Ia tidak pandai membaca. Tapi ia tahu segalanya tentang pintu. Setiap pagi, ia datang lebih dulu dan membuka semua pintu sekolah. Tapi anehnya, tidak pernah ada yang tahu pintu mana yang sebenarnya dia buka.

“Aku hanya ingin semua punya jalan keluar,” katanya lirih. Ia percaya bahwa tidak semua orang harus masuk ke ruang yang sama untuk belajar. Ia membuka pintu menuju lapangan, kamar mandi kosong, loteng berdebu, bahkan ke bawah lantai tempat rayap bersidang. Orang dewasa menyebut Merbou bodoh. Tapi Dilma mendengar angin berbisik saat Merbou lewat. Dan Pieng selalu menulis namanya dalam huruf kecil, seolah Merbou adalah jeda yang menyelamatkan kalimat dari kebuntuan.

IV. Lonjakan di Hari Tanpa Angka

Pada suatu hari, angka-angka hilang dari buku matematika. Semua halaman berubah putih. Para guru berdiri beku. Suara papan kayu pun lenyap. “Hari ini kita tak punya angka,” ujar Dilma. “Mungkin kita sedang dilupakan.” Pieng tersenyum. Ia menulis: Jika tak ada angka, mungkin kita akhirnya belajar menghitung makna. Merbou membuka pintu.

Di luar, kabut seperti perca kain menggantung dari langit. Ia mengangguk pada Dilma dan Pieng. Mereka bertiga melangkah keluar. Di tengah lapangan, mereka menggambar lingkaran dengan ranting. Dilma menaruh daun, Pieng menaruh kata, Merbou menaruh kunci yang patah. Lingkaran itu bersinar samar. Dan dari dalam tanah, muncul lonceng tua;karatan, retak, tapi hidup.

“Ini lonceng yang tak pernah berdenting,” ujar Dilma.

“Karena tak ada yang mau mendengarnya,” sahut Pieng.

Merbou mendekat, dan meniupnya.

Nihil suara. Tapi udara berubah. Seekor kelinci melompati buku pelajaran. Huruf-huruf keluar dari jendela. Salah satu guru kayu ambruk, berubah menjadi tanaman. Dan para murid menari. Tidak seperti tarian perpisahan. Tapi seperti tarian anak-anak yang baru saja mengingat: belajar bukan meniru, tapi menggali diri sendiri yang terus tumbuh dan berubah.

V. Satu Tahun Tanpa Kurikulum

Sejak hari itu, Madrasah Sendu berubah. Tidak ada jadwal. Tapi semua datang tepat waktu. Tidak ada ujian, tapi setiap anak menemukan pertanyaan yang mustahil dapat dijawab orang lain. Para guru pun mulai tumbuh mulut. Tapi bukan untuk memberi tahu, melainkan untuk mendengar. Dilma mengajar dengan mendengarkan. Pieng menjadi penjaga perpustakaan yang hanya berisi buku kosong, tempat anak-anak menulis sendiri. Merbou tidak pernah masuk kelas, tapi membuka lebih banyak pintu, bahkan ke rumah-rumah di desa. Mereka menyebut ini tahun tanpa kurikulum. Tapi di seberang lembah, orang-orang mulai resah, berulang kali bertanya: Apa gunanya sekolah jika tak ada ranking? Apa gunanya belajar jika tak bisa dilombakan?

Maka datanglah Orang-Orang Bertopi Angka.

Mereka membawa meteran, grafik, nilai, dan peraturan yang bisa dibingkai. Mereka bicara dengan bahasa yang tak punya metafora. Lonceng dipaksa berdenting kembali. Pintu-pintu dikunci. Madrasah Sendu disterilkan. Dilma dipecat. Pieng dikirim ke kota. Merbou menghilang.

VI. Batu yang Berbicara Setelah Hujan

Beberapa tahun kemudian, seorang anak berjalan di lereng lembah. Ia menemukan batu kecil dengan ukiran aneh: “Kadang, belajar adalah melupakan pelajaran yang tidak lagi berguna.” Ia mendongak. Di sana, di balik ilalang dan lumut, terlihat kerangka bangunan tua. Ada pintu yang terbuka. Ada suara daun yang jatuh. Ada bunyi burung dari dalam papan tulis yang retak. Dan mungkin, jika kau diam cukup lama, kau bisa mendengar suara telinga ketiga Dilma, jejak tanda koma Pieng, dan pintu Merbou yang terus terbuka—di mana pelajaran tidak pernah selesai ditulis.

No comments:

Post a Comment