Di warung pojok antara masjid dan pom bensin, seorang bapak memutar berita tentang serangan udara. Di layar televisi 14 inci, kita lihat misil terbang seperti ayat-ayat yang kehilangan tafsir. Tetapi di sini, ibu-ibu masih menawar harga cabai, seolah-olah inflasi dan invasi adalah jenis bumbu dapur yang sama.
“Kita harus netral,” kata pejabat dengan dasi motif batik dan suara seperti pendingin ruangan di kantor desa. Tapi netral kita selalu miring ke arah yang sedang viral, tergantung siapa yang sedang kasih proyek pembangunan jalan tol.
Malam ini, kita makan mi instan rasa "Kari Dunia Ketiga", sambil membaca komentar di Instagram: #PrayForPeace—dan #PromoRamadhan. Apakah kemanusiaan bisa dibayar dengan pulsa? Atau cukup dengan unggahan karikatur anak kecil yang berdarah tapi tetap artistik?
Sementara itu, perusahaan tambang diam-diam membuka cabang di gurun orang lain, dan kita ekspor doa dalam kemasan sachet. Murah. Praktis. Ada stiker bendera kecil di pojok kanan bawah.
Tetapi kenapa, di tengah semua ini, kita masih bangga menjadi negara dengan “posisi strategis”? Apakah kita berarti berada di tengah peta, atau di tengah kebingungan yang tidak pernah usai?
Ini bukan soal siapa yang menang.
Nikel dari perut Sulawesi mengalir ke pabrik-pabrik kendaraan listrik yang katanya menyelamatkan dunia, tapi tak pernah menyelamatkan buruh di sekitar tambang. Debu mengendap di paru-paru mereka, sementara CEO-nya berpidato tentang "green future" sambil menyeruput kopi Toraja. Barangkali dunia ini memang dibangun dari kontradiksi yang diminyaki, dan kita diminta ikut tepuk tangan dalam seminar berjudul Kolaborasi Menuju Masa Depan Berkelanjutan. Tapi sampai hari ini, anak-anak di kampung tambang masih menghafal abjad di tengah gemuruh alat berat.
Dan di antara semua itu, langit tetap cerah di aplikasi cuaca, meskipun dunia retak-retak di bawahnya.
No comments:
Post a Comment