Thursday, July 10, 2025

CELOTEH IKAN SAPU-SAPU

Aku ini ikan sapu-sapu. Iya, yang biasa kamu sebut "ikan jorok", "ikan pembersih kaca", padahal yang paling kotor itu bukan aku...tapi kebijakan kalian yang setengah matang, setengah matang tapi ditaruh di piring mewah, seolah bisa dicerna. Huh. 

Sudah dua jam aku ngendon di pojok kolam taman kota, mendengarkan dua bocah ribut minta dibeliin es krim. Ibunya menolak, katanya, “itu bukan makanan sehat, sayang.” Tapi lima menit kemudian dia beli corn dog, yang di luarnya keju mozzarella, di dalamnya sosis ayam impor. Katanya makanan sehat mahal. Aku ngeludah gelembung sarkas. 

Di Portugal, sekolah ngajarin anak-anak masak sendiri dari kebun sekolah. Di Swiss, pasar mingguan penuh makanan organik, dari nenek-nenek petani yang lebih segar dari influencer skincare lokal. Di sini? Organik mahal, UPF murah, anak-anak dicekokin keju bubuk dan bon cabe dari usia balita. Dunia terbalik, dan aku nyeret lumut sambil mikir, mungkin Tuhan iseng waktu bikin negeri ini. 

Denger-denger tetangga kolam sebelah baru melahirkan. Operasi sesar, katanya 24 juta, diskon kalau pakai BPJS, itu pun kalau dokternya nggak mudik. Di Swiss? Semua perempuan melahirkan ditangani tenaga medis yang tidak sempat jadi selebgram. Di sini? Dokter spesialis harus buka TikTok dulu biar dipercaya pasien. BPJS? Antriannya bisa bikin ikan cupang stres. Ngomong-ngomong stres, anak-anak zaman sekarang nggak bisa main di lapangan tanah kayak dulu. Mau les basket, harus bayar 1,5 juta per bulan. Baru dapet kaus dan panggilan "adik-adik" dari pelatih. 

Di Portugal, anak-anak main bola di trotoar, nggak usah daftar, nggak usah bayar. Di sini, trotoar dijajah pedagang, motor, dan kadang tuyul. Eh serius, ada tuyul nyebrang tadi pagi. Mau naik angkot katanya, tapi bingung rutenya. Aku ketawa. Transportasi umum? Halah. KRL sering mogok, MRT cuma bisa buat selfie, dan bis kota... ya, jangan tanya deh. Bahkan aku, ikan, lebih ngerti jalur sungai dari pada supir Trans.

"Kenapa kamu bawel banget, Sapu?" tanya si lele putih yang baru pindah dari empang belakang kampus negeri. "Karena kita hidup di negeri yang lebih suka ngecat tembok rumah sakit daripada nambah ventilasinya," jawabku. "Apa hubungannya?" "Nggak ada. Sama kayak kamu daftar subsidi tapi nggak pernah dapat.. nggak ada hubungannya sama logika." 

Di dasar air ini, aku lihat segalanya. Pemerintah yang pamer kebijakan kayak pamer aquascape: cantik, tapi nggak fungsional. Ikan-ikan makin lelah berenang melawan arus. Dan aku? Aku sapu-sapu. Tugasku membersihkan. Tapi kalau limbahnya terus datang dari atas, percuma aku diam. Maka aku ngomel. Kalau kalian malas mendengarkan, jangan salahkan nanti kalau aku naik ke permukaan dan minta KTP. Siapa tahu, bisa nyalon jadi menteri.


Indomie, Doa dan Drone-Drone di Langit Makmur

Di warung pojok antara masjid dan pom bensin, seorang bapak memutar berita tentang serangan udara. Di layar televisi 14 inci, kita lihat misil terbang seperti ayat-ayat yang kehilangan tafsir. Tetapi di sini, ibu-ibu masih menawar harga cabai, seolah-olah inflasi dan invasi adalah jenis bumbu dapur yang sama. 

“Kita harus netral,” kata pejabat dengan dasi motif batik dan suara seperti pendingin ruangan di kantor desa. Tapi netral kita selalu miring ke arah yang sedang viral, tergantung siapa yang sedang kasih proyek pembangunan jalan tol.

Malam ini, kita makan mi instan rasa "Kari Dunia Ketiga", sambil membaca komentar di Instagram: #PrayForPeace—dan #PromoRamadhan. Apakah kemanusiaan bisa dibayar dengan pulsa? Atau cukup dengan unggahan karikatur anak kecil yang berdarah tapi tetap artistik?

Sementara itu, perusahaan tambang diam-diam membuka cabang di gurun orang lain, dan kita ekspor doa dalam kemasan sachet. Murah. Praktis. Ada stiker bendera kecil di pojok kanan bawah.

Tetapi kenapa, di tengah semua ini, kita masih bangga menjadi negara dengan “posisi strategis”? Apakah kita berarti berada di tengah peta, atau di tengah kebingungan yang tidak pernah usai?

Ini bukan soal siapa yang menang.

Nikel dari perut Sulawesi mengalir ke pabrik-pabrik kendaraan listrik yang katanya menyelamatkan dunia, tapi tak pernah menyelamatkan buruh di sekitar tambang. Debu mengendap di paru-paru mereka, sementara CEO-nya berpidato tentang "green future" sambil menyeruput kopi Toraja. Barangkali dunia ini memang dibangun dari kontradiksi yang diminyaki, dan kita diminta ikut tepuk tangan dalam seminar berjudul Kolaborasi Menuju Masa Depan Berkelanjutan. Tapi sampai hari ini, anak-anak di kampung tambang masih menghafal abjad di tengah gemuruh alat berat.

Dan di antara semua itu, langit tetap cerah di aplikasi cuaca, meskipun dunia retak-retak di bawahnya.

Wednesday, July 9, 2025

HANYA CELOTEH SAJA

Petak-petak cemas, petok-petok ayam

Deret-deret bambu, wenang-wenang cabut

 

Tuding-menuding abrasi restorasi

Nelayan melipir, membongkar, hampir

 

Kan Saya sudah bilang, segala bentuk instruksi, tidak sama lagi

Kan Saya sudah bilang, semakin kesini, semakin susah berhenti

Kan Saya sudah bilang, aktivitas ini sama dengan pengelolaan energi

Kan Saya sudah bilang, puisi-puisi ini, nol arti

 

Kamu masih mau,

   mencintai negara ini?

Tanya bocah berkepala gundul dengan kaus garis-garis

 kepada teman di samping kirinya

 

Kamu masih mau,

   melihat matahari tenggelam,

dan dimakan habis olehnya?

Aku tidak. 

DILMA, PIENG DAN MERBOU; LONCENG YANG MENOLAK BERDENTING

Di lembah yang bentuknya seperti cangkir raksasa, terkurung kabut putih dan pepohonan kurus, berdiri sebuah sekolah kayu yang warnanya telah lama menyerah pada musim. Mereka menyebutnya Madrasah Sendu, meskipun tidak ada pelajaran agama di dalamnya. Di sanalah tiga nama tumbuh dari akar yang berbeda; Dilma, si pendengar gema, Pieng, penebar tanda tanya,  dan Merbou, penjaga pintu yang tidak pernah terkunci. Sekolah itu enggan memiliki jam. Waktu diatur oleh bayangan burung yang terbang melewati jendela, atau suara daun yang jatuh pada lantai bambu. Para guru? Mereka tidak punya mulut; hanya papan-papan kayu yang memutar kalimat-kalimat usang lewat lidah kapur yang gemetar.

I. Dilma dan Telinga Ketiganya

Dilma lahir dari sebuah perahu. Ibunya seorang pembuat jaring, ayahnya tenggelam sebelum sempat memberi nama. Ia memiliki telinga ketiga di balik rambutnya yang selalu basah, dan katanya ia bisa mendengar suara-suara yang tidak pernah diucapkan. Di Madrasah Sendu, Dilma duduk paling belakang. Ia tidak mencatat, tidak bertanya. Tapi ia mendengar. Ia tahu saat huruf “A” mulai merasa malu, atau ketika angka “7” menyimpan dendam pada perkalian.

“Ilmu itu seperti angin,” katanya sekali, pada Pieng. “Kalau kau paksa masuk botol, ia akan jadi bisu.” Orang-orang menyebutnya aneh. Tapi Dilma tahu: pelajaran tidak selalu datang dari papan tulis. Kadang dari bunyi serangga, atau detak jari guru yang mengetuk meja tanpa sadar.

II. Pieng, Sang Pemelihara Koma

Pieng punya keinginan untuk memecah semua kalimat. Ia membenci titik, menyukai koma. “Titik adalah kematian,” ujarnya. “Koma masih memberi harapan.”

Ia membawa buku catatan dengan garis-garis diagonal. Di dalamnya, ia menulis ulang pelajaran hari itu—tapi selalu ia ubah. Jika pelajaran tentang segitiga, ia akan menggambar rumah berkaki tiga. Jika soal sejarah, ia menulis ulang masa lalu sebagai kemungkinan, bukan kepastian. Guru-guru kayu di Madrasah Sendu nampak tidak menyukai Pieng. Mereka lebih menyukai anak-anak yang meniru, bukan menyoal.

 “Kenapa sejarah hanya dihafal, bukan ditanyai?” tanya Pieng suatu hari, dan papan tulispun retak. Dilma mendengar sesuatu pecah dalam diam hari itu. Ia menoleh ke Pieng dan melihat: ada seekor burung bertengger di bahunya. Burung itu terbuat dari kata-kata yang ditolak.

 

III. Merbou, dan Pintu yang Selalu Terbuka

Merbou tak banyak bicara. Ia tidak pandai membaca. Tapi ia tahu segalanya tentang pintu. Setiap pagi, ia datang lebih dulu dan membuka semua pintu sekolah. Tapi anehnya, tidak pernah ada yang tahu pintu mana yang sebenarnya dia buka.

“Aku hanya ingin semua punya jalan keluar,” katanya lirih. Ia percaya bahwa tidak semua orang harus masuk ke ruang yang sama untuk belajar. Ia membuka pintu menuju lapangan, kamar mandi kosong, loteng berdebu, bahkan ke bawah lantai tempat rayap bersidang. Orang dewasa menyebut Merbou bodoh. Tapi Dilma mendengar angin berbisik saat Merbou lewat. Dan Pieng selalu menulis namanya dalam huruf kecil, seolah Merbou adalah jeda yang menyelamatkan kalimat dari kebuntuan.

IV. Lonjakan di Hari Tanpa Angka

Pada suatu hari, angka-angka hilang dari buku matematika. Semua halaman berubah putih. Para guru berdiri beku. Suara papan kayu pun lenyap. “Hari ini kita tak punya angka,” ujar Dilma. “Mungkin kita sedang dilupakan.” Pieng tersenyum. Ia menulis: Jika tak ada angka, mungkin kita akhirnya belajar menghitung makna. Merbou membuka pintu.

Di luar, kabut seperti perca kain menggantung dari langit. Ia mengangguk pada Dilma dan Pieng. Mereka bertiga melangkah keluar. Di tengah lapangan, mereka menggambar lingkaran dengan ranting. Dilma menaruh daun, Pieng menaruh kata, Merbou menaruh kunci yang patah. Lingkaran itu bersinar samar. Dan dari dalam tanah, muncul lonceng tua;karatan, retak, tapi hidup.

“Ini lonceng yang tak pernah berdenting,” ujar Dilma.

“Karena tak ada yang mau mendengarnya,” sahut Pieng.

Merbou mendekat, dan meniupnya.

Nihil suara. Tapi udara berubah. Seekor kelinci melompati buku pelajaran. Huruf-huruf keluar dari jendela. Salah satu guru kayu ambruk, berubah menjadi tanaman. Dan para murid menari. Tidak seperti tarian perpisahan. Tapi seperti tarian anak-anak yang baru saja mengingat: belajar bukan meniru, tapi menggali diri sendiri yang terus tumbuh dan berubah.

V. Satu Tahun Tanpa Kurikulum

Sejak hari itu, Madrasah Sendu berubah. Tidak ada jadwal. Tapi semua datang tepat waktu. Tidak ada ujian, tapi setiap anak menemukan pertanyaan yang mustahil dapat dijawab orang lain. Para guru pun mulai tumbuh mulut. Tapi bukan untuk memberi tahu, melainkan untuk mendengar. Dilma mengajar dengan mendengarkan. Pieng menjadi penjaga perpustakaan yang hanya berisi buku kosong, tempat anak-anak menulis sendiri. Merbou tidak pernah masuk kelas, tapi membuka lebih banyak pintu, bahkan ke rumah-rumah di desa. Mereka menyebut ini tahun tanpa kurikulum. Tapi di seberang lembah, orang-orang mulai resah, berulang kali bertanya: Apa gunanya sekolah jika tak ada ranking? Apa gunanya belajar jika tak bisa dilombakan?

Maka datanglah Orang-Orang Bertopi Angka.

Mereka membawa meteran, grafik, nilai, dan peraturan yang bisa dibingkai. Mereka bicara dengan bahasa yang tak punya metafora. Lonceng dipaksa berdenting kembali. Pintu-pintu dikunci. Madrasah Sendu disterilkan. Dilma dipecat. Pieng dikirim ke kota. Merbou menghilang.

VI. Batu yang Berbicara Setelah Hujan

Beberapa tahun kemudian, seorang anak berjalan di lereng lembah. Ia menemukan batu kecil dengan ukiran aneh: “Kadang, belajar adalah melupakan pelajaran yang tidak lagi berguna.” Ia mendongak. Di sana, di balik ilalang dan lumut, terlihat kerangka bangunan tua. Ada pintu yang terbuka. Ada suara daun yang jatuh. Ada bunyi burung dari dalam papan tulis yang retak. Dan mungkin, jika kau diam cukup lama, kau bisa mendengar suara telinga ketiga Dilma, jejak tanda koma Pieng, dan pintu Merbou yang terus terbuka—di mana pelajaran tidak pernah selesai ditulis.

BATANG BULUH

Delapan batang buluh membentuk sangkar tanpa hybris,

mereka berdansa saat embun pagi menyentuh ujungnya

Setiap darinya bergumam, “Aku aku, tapi aku milik banyak tanah,”

ketika matahari mengulurkan jari, mereka bersahut dan bersambut

 

Kupandangi dedaunan; adakah yang menuntut daun sebelah menjadi putik?

Angin hanya membelai, dan bunga-bunga memilih untuk bertepuk bergilir

Di dalam tanah, akar-akar menaut tanpa tumpang tindih;

di atas panggung ini, kekayaan suara tumbuh tanpa saling meredup

 

Ketika malam merambat, jangkrik membuka pertemuan rahasia

bundel napas dan rintik mereka membentuk simfoni tak terlihat

Tidak ada paduan suara utama; melainkan sembilan puluh detik diam

menyusun ruang di antara nada, memberi tempat untuk nyali-nyali


2025

AYAM YANG TAK MAU MATI

Di sebuah desa yang tak lagi disebut dalam peta, tinggal seekor ayam jantan bernama Sora. Ia bukan ayam sembarang, bukan pula ayam aduan atau ayam cemani. Ia ayam biasa, bulu cokelat kusam, jenggernya menggelantung lemas seperti bendera setengah tiang. Yang luar biasa darinya cuma satu: ia bisa berpikir.

Sora tinggal di tengah sawah yang dulu subur, kini mengering. Rumput menguning seperti mulut orang tua yang lupa minum. Lalat pun ogah mampir. Pernah suatu waktu Sora bicara sendiri, “Kalau sawah sudah mati, apa gunanya hidup?” Tapi ia tak mati juga. Ia terlanjur terikat pada dunia ini seperti tali tambang pada tiang jemuran. Setiap pagi ia berkokok, bukan karena fajar, tapi karena kebiasaan. Tak ada lagi yang mendengar selain angin dan seonggok karung pupuk yang tertiup pelan.

Dulu, sebelum matahari seperti bola lampu yang korslet, desa ini hidup dengan irama musim. Ada perempuan bernama Ima, gadis desa yang setiap sore mencuci kaki di selokan, menanak nasi dari beras yang ia tanam sendiri, dan memelihara Sora sejak masih anak ayam. Ima bersahaja. Ia percaya pada pepatah, pada langit, pada angin. Tapi itu dulu.

Ketika perusahaan-perusahaan mulai membeli tanah sawah dengan harga dua kali lipat nilai moral, banyak yang menjual. Ima marah, tapi ayahnya justru tertawa, “Lebih baik sawah kering dibeli orang, daripada kering tanpa guna,” katanya, sambil mengunyah sirih. Ima menangis diam-diam, sambil menggendong Sora.

Lalu ia pindah ke kota.

Di kota, Ima bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang pejabat kementerian lingkungan hidup. Ironis, ya? Tapi hidup memang suka bercanda. Majikannya, Bu Lestari, selalu berbicara soal ‘sustainability’ dengan artikulasi seperti presentasi PowerPoint: Green economy, carbon offset, eco-lifestyle. Di meja makan, Bu Lestari memarahi Ima karena plastik pembungkus tempe tidak digulung rapi. Tapi di pesta ulang tahun anaknya, mereka menyewa dekorasi balon satu truk penuh.

“Sampah itu masalah rakyat, bukan elite,” kata Pak Raka, suaminya, seorang pejabat yang suka sekali menyebut kata ‘konservasi’ sembari menyiram rumput sintetis di taman mereka. Ima mengangguk saja. Dalam hatinya, ia rindu tanah yang basah, suara kodok, dan ayam jantannya.

Sora tetap tinggal di desa. Ia melihat traktor datang, menggusur pohon pisang dan rumpun bambu. Ia menyaksikan ladang menjadi kompleks vila.  Sawah berubah jadi lapangan parkir. Tapi ia tak bisa lari. Ia sudah tua. Sayapnya lemah. Ia cuma bisa menatap langit sambil mengingat Ima.Suatu malam, seorang guru ngaji tua lewat depan sawah, membawa kitab dan lentera. Ia melihat Sora dan berhenti.

“Kau masih hidup, ayam?” katanya.

Sora memiringkan kepala. Ia tidak bicara, tentu saja. Ia ayam. Tapi ia mengerti.

“Kau tahu,” lanjut guru itu, “dulu Nabi Sulaiman bisa bicara pada binatang. Tapi sekarang manusia bahkan tak bisa mendengar bumi sendiri menangis.”

Guru itu tertawa pendek. Lalu bersabda entah kepada siapa, “Keseimbangan alam itu amanah. Tapi kita mengkhianatinya demi pendingin ruangan dan gengsi perkotaan.”

Lalu ia pergi, ditelan kabut malam yang membawa bau plastik terbakar.

Suatu hari, Ima pulang kampung. Bukan karena rindu. Tapi karena ayahnya meninggal dan tanah rumah hendak dijual. Ia berjalan melewati jalan desa yang kini berdebu seperti roti basi. Truk-truk proyek lewat membawa batu dan semen. Ia melihat Sora duduk di bawah bayangan bangunan setengah jadi. Ayam tua itu tampak kurus, tapi masih hidup. Ima terisak. Ia mengangkat Sora, memeluknya.

“Kau tidak mati?”

Sora mematuk pelan tangannya, seolah berkata: “Kau juga belum.”

Malam itu, Ima tidak tidur. Ia duduk di beranda rumah peninggalan ayahnya, menatap bulan yang tampak seperti lampion murung. Ia berpikir tentang semua: tentang sawah, tentang kota, tentang plastik yang tak pernah hancur, dan tentang anak-anak pejabat yang membeli air dalam botol kaca demi konten Instagram. Bumi adalah rumah, tapi mereka mendekornya seperti tempat pesta lalu pergi meninggalkan sampah.

Esoknya, Ima membuat keputusan aneh. Ia tidak kembali ke kota. Ia membeli bibit, menggali tanah dengan tangan. Ia menanam padi di sawah yang setengah mati. Orang-orang menganggapnya gila. Beberapa bulan berlalu. Ima tetap menanam, sendiri. Tak ada yang membantunya, kecuali Sora yang sesekali mencakar tanah lalu tidur di bawah bayangan caping. Sawahnya mulai menghijau, meskipun tipis. Orang-orang yang tadinya mencibir kini hanya diam dari jauh, menonton seperti menonton ayam sabung—penasaran siapa yang kalah duluan: Ima atau tanah.

Suatu pagi, datang mobil mewah ke desa. Platnya seperti kode rahasia dari langit ibu kota. Turunlah sekeluarga pejabat lengkap: sang ayah pejabat kementerian, sang ibu aktivis lingkungan sekaligus influencer, dan anak gadis mereka yang tampak seperti hasil digitalisasi estetika. Ima mengenali mereka, keluarga tempatnya dulu bekerja.

“Ima? Ini kamu?” kata Bu Lestari, mengenakan kacamata hitam besar yang memantulkan wajah sawah. Ima mengangguk. Tangannya penuh lumpur. Di belakangnya, Sora mengamati dari jauh, seperti seorang satpam spiritual.

 

Pak Raka turun sambil menutupi hidung. “Masih bau lumpur ya tempat ini. Tapi… kami tertarik. Kementerian ingin mengembangkan Eco-Tourism. Sawah kamu bisa jadi pilot project. Kami bangun homestay. Wisata edukatif. Sesi panen selfie. Kamu tinggal bagi hasil.”

Ima hanya menatap mereka. Lama.

“Tanah ini bukan tempat selfie,” katanya, “Ini tempat sembuh.”

AKAR TUBUH

Semua tangan meraba tombol, dan bunyi ketukan serentak mencipta ruang mendengar

Seperti gendang, gong, kecapi bertaut tanpa dominasi

Perjalanan suara-suara yang bertemu di luar hierarki

Di situ; sastra, nada, dan pengalaman perempuan bergelora setara

Cahaya merambat di atas dahan,

bercabang lebat, menopang daun tanpa cemburu

Begitu pula pemikiran kita, tumbuh dalam simpul yang saling memanggul

Tidak ada batang tunggal yang berdiri sendiri

hanya hutan lintas suara dan tubuh

Napas masuk dan keluar bersamaan, seperti kurasi pengalaman;

yang bergulir tanpa jeda

Di sanalah Ia tumbuh;

menjadi akar

yang sama menghidupi ragam kata

 


2025

 

Laut di Telingaku

 

Ibu, ibu, ibu, mengapa di kupingku selalu ada suara gemuruh air bergulung?”

“Gemuruh? Gemuruh seperti apa, Nak?”

“Seperti pertama kali Ibu membawaku ke Wohkudu.”

“Maksudmu seperti suara ombak?”

“Nah iya, seperti itu.”

“Kapan pertama kali kamu menyadarinya?”

“Beberapa minggu lalu. Aku bermimpi juga dihujani pasir-pasir, berwarna merah muda, coklat kemudaan. Malam setelahnya aku juga bermimpi tuts-tuts piano kamarku beterbangan mengelilingi wajahku.”

“Hmm.. mimpimu absurd sekali..”

“Ibu mengerti?”

“Tidak. Tapi kakekmu pernah bermimpi seperti itu juga. Diceritakannya berulang-ulang kepada kami, anak-anaknya, dan cucu-cucunya. Ibu lupa cerita kepadamu karena Ibu rasa ini tidak penting.”

 

***

 

Lima tahun sejak percakapan petang di hari Kamis itu. Telingaku tidak sama lagi. Setiap hari aku harus hidup dengan telinga yang bergemuruh, aku tinggal di kota besar, tetapi seakan-akan kamarku langsung menghadap samudera. Ibu juga telah membawaku ke dokter—dokter umum, dokter spesialis, cenayang, tabib, usada. Sebutlah semua penjuru pengobatan, namun semua tidak punya jawabannya. Jika kalian membayangkan seperti white noise yang berdampak pada menurunnya kepekaan pendengaranku, bukan. Bukan seperti itu. Aku mencoba mendefinisikan sedetail mungkin kepada orang-orang. Sederhananya, Aku seperti membawa laut kemanapun. Di dalam busway, ketika lari di GBK, ketika gereja, bahkan ketika mandi. Seolah-olah jalur busway, running track GBK, barisan kursi ibadah jemaat dan shower kamar mandiku terletak sejajar dengan bibir pantai.

 

Maka sejak saat itupula, ketika aku sudah bisa berdamai dengan suara gemuruh, Aku kerap mendatangi bibir-bibir laut. Tidak pernah ada jam pasti untuk mengunjungi. Mau tengah malam sekalipun, laut selalu menerimaku dengan senyum dan tentu saja, nasihat. 



(Aku selalu merawat pertemuanku dengan laut walau telingaku hampir berdarah,  karena Ia tak pernah menutup mulutnya ketika Aku datang menjenguk. Ada saja nasihatnya, dari penampilan, finansial, percintaan, bahkan spiritual. Kupikir, ketika Laut sedang sibuk, dan Aku menyempatkan berkunjung, Ia akan dalam kondisi tidak mood dan menemaniku dalam hening saja. Oh ternyata tidak, lewat angin, burung, atau perahu-perahu nelayan, Ia menyampaikan nasihat-nasihatnya. Tidak peduli Aku datang dalam kondisi bahagia, patah, gamang atau sumringah. Selalu saja ada celoteh.)