Wednesday, February 29, 2012
Persamaanmu dan Adikku
Malam ini, aku cukup merindukanmu. Merindukan kamu yang kalau tersenyum, matanya akan sipit menjadi segaris, dan menyisakan pipi yang bulat bersemu merah.
Tuesday, February 28, 2012
Setelah Kau Meneleponku
Mataku panas, sekali
Hatiku lelah, sepertinya mati suri
Setelah berlarian denganmu
Setelah berkejaran dengan pikiran dan waktu
Rindumu, Sayang, itu menguatkan kakiku untuk dapat selalu bangkit dan lebih gagah dalam melangkah. Rindumu, itu membuatku menilai diriku beruntung, dan dirinduimu dapat menjauhkan pikiranku dari segala kata mencela. Aku bersyukur kau dapat mengingatku, Sayang, aku bersyukur aku ada di ingatanmu. Terima kasih telah, sedang dan tetap merindukanku.
Hatiku lelah, sepertinya mati suri
Setelah berlarian denganmu
Setelah berkejaran dengan pikiran dan waktu
Rindumu, Sayang, itu menguatkan kakiku untuk dapat selalu bangkit dan lebih gagah dalam melangkah. Rindumu, itu membuatku menilai diriku beruntung, dan dirinduimu dapat menjauhkan pikiranku dari segala kata mencela. Aku bersyukur kau dapat mengingatku, Sayang, aku bersyukur aku ada di ingatanmu. Terima kasih telah, sedang dan tetap merindukanku.
Sesederhana Itu
Sepertinya bila tanpa kamu, aku mati kutu.
Bagiku, kamu peran utama, bukan sekedar pariwara. Mencintaimu, lebih sederhana dari ritual secangkir teh hangatku di menjelang tidur. Kamu seperti akar akasia yang terus menghujam ke tanah seiring bertambahnya usia kita. Tak bisa kupersembahkan apa-apa selain kehidupan yang kupotong dua menjadi sama bagian. Hidupku lengkap sekarang, tak usah ku cari kamu kemana-kemari, berlomba seperti ombak mengejar tepian. Seperti malam bergumul dengan matahari pagi..
Maka, mati lemaslah aku, senyummu memutuskan kapiler di setiap ujung tubuh, dan kamu, seperti biasa, mengelus rambutku dengan halus, dan segera mengecup keningku. Bertanya apakah aku sudah sarapan atau belum, dan jika belum, kau langsung membuatkan aku setangkup roti selai coklat.
Dan beginilah kehidupan, kau sering berkata bahwa kesederhanaan dimulai dengan pertemuanmu denganku. Lalu kita jadi segaris dengan waktu.
Bagiku, kamu peran utama, bukan sekedar pariwara. Mencintaimu, lebih sederhana dari ritual secangkir teh hangatku di menjelang tidur. Kamu seperti akar akasia yang terus menghujam ke tanah seiring bertambahnya usia kita. Tak bisa kupersembahkan apa-apa selain kehidupan yang kupotong dua menjadi sama bagian. Hidupku lengkap sekarang, tak usah ku cari kamu kemana-kemari, berlomba seperti ombak mengejar tepian. Seperti malam bergumul dengan matahari pagi..
Maka, mati lemaslah aku, senyummu memutuskan kapiler di setiap ujung tubuh, dan kamu, seperti biasa, mengelus rambutku dengan halus, dan segera mengecup keningku. Bertanya apakah aku sudah sarapan atau belum, dan jika belum, kau langsung membuatkan aku setangkup roti selai coklat.
Dan beginilah kehidupan, kau sering berkata bahwa kesederhanaan dimulai dengan pertemuanmu denganku. Lalu kita jadi segaris dengan waktu.
Monday, February 27, 2012
Kecup
Tentang permen-permen kecil yang selalu manis,
Lucunya, tidak pernah mengecil karena ku emuti.
Tentang garam yang tak pernah hilang menguap
Walau aku siram air dan kupanaskan dalam sinar mentari.
Tentang pasir kecil dalam jam yang tak pernah habis
Walau kuputar bolak-balik, kanan kiri, atas bawah.
Tentang jingga yang tak pernah memudar
Walau mega sudah lelah dan tidak lagi siaga.
Teruntuk Melinda, yang selalu ada.
Teruntuk Febrianti, yang tidak pernah tidak mengerti.
Dan Intani, yang keselaluannya tidak pernah absen menemani.
Februari 2012
Lucunya, tidak pernah mengecil karena ku emuti.
Tentang garam yang tak pernah hilang menguap
Walau aku siram air dan kupanaskan dalam sinar mentari.
Tentang pasir kecil dalam jam yang tak pernah habis
Walau kuputar bolak-balik, kanan kiri, atas bawah.
Tentang jingga yang tak pernah memudar
Walau mega sudah lelah dan tidak lagi siaga.
Teruntuk Melinda, yang selalu ada.
Teruntuk Febrianti, yang tidak pernah tidak mengerti.
Dan Intani, yang keselaluannya tidak pernah absen menemani.
Februari 2012
LAH
Aku terbangun dengan keindahan, dengan kemurnian matamu satu.
Mengenang, hanya mengenang. Judulnya.
Dua tahun lalu kita pernah bersama, kita pernah menjadi suatu cerita yang dipaket bebas. Kita pernah menjadi seperangkat yang melengkapi. Kita pernah menjadi antonym maupun sinonim satu sama lain.
“Menghilang dan nyata… Semua yang pernah kurasa.”
Walau aku lupa rasa eskrim yang kau berikan di bawah bangku taman itu, tapi tidak pernah aku lupa bagaimana rasanya tersipu dan memerah pipiku karena kamu. Walau aku lupa rute jalan pulang sekolah yang biasa dilewati bersama, tapi tidak pernah aku lupa bagaimana dengan erat selalu kau genggam jemariku, penuh. Dan walau aku melupakan semua pelajaran matematika waktu itu, tidaklah pernah aku bisa hilangkan senyum serimu saat kau mengajarkan aku.
Kita masih sangat kecil. Pada saat itu.
Dan ketika waktu terus bermain dan kujelajahi sendiri.
Dan ketika terus kucari siapa yang melebihi
Tidaklah ada
Tidaklah bisa.
Terimakasih: USAIDS
Megamilikku
Jarang,
aku menangis di pagi buta seperti ini.
Atau entah dimensi mimpi yang tidak sengaja tercerabut keluar sehingga menyisakan sedikit bulir untuk aku susut.
Dan kamu,
apakabar?
Ada perasaan yang ingin meledak, di saat aku membuka mata untuk menjalani aktivitas, dan ada banyak labirin dan bermain teka-teki
denganku
Aku menangis di pagi
Karena mimpi
Aku melihat perasaan yang di iris menjadi lima bagian
Aku menangis di sekeliling awan
Karena riak
Buihnya pecah jadi perih untuk kesekian kali
Aku menyulap pagi menjadi kebermulaan sebuah penyelesaian
Dan selamanya menjadi kefanaan
Di pinggir, aku masih menunggu
Kamu
menepi
berhenti
seperti di perempatan jalan sore hari
aku menunggu, menghitung daun gugur
trotoar sampai memerhatikan aku
katanya, untuk apa aku
diam
katanya, bisa saja aku
pergi
katanya, lebih baik aku
lalui
di perempatan itu, ada analogi
dalam jam dinding
dan detiknya
dan secangkir teh pahit sebelum tidur
sepekat itu aku memikirkan kamu
selama itu aku bermain dengan dimensi waktu
kau ketahui, sudah tiga hari aku tidak bisa tidur
namamu menjadi penyumbat pembungkus nadi
dan kau lari,
membawa degupanku
dan kau pergi,
membawa peparu
aku perlu
menyadur ulang
kata
seperti aku perlu
memilah
yang tidak kentara
s
se
sel
sela
selal
selalu
tidak perlu lagi penjelasan
apalagi kau selebih pengertian.
aku menangis di pagi buta seperti ini.
Atau entah dimensi mimpi yang tidak sengaja tercerabut keluar sehingga menyisakan sedikit bulir untuk aku susut.
Dan kamu,
apakabar?
Ada perasaan yang ingin meledak, di saat aku membuka mata untuk menjalani aktivitas, dan ada banyak labirin dan bermain teka-teki
denganku
Aku menangis di pagi
Karena mimpi
Aku melihat perasaan yang di iris menjadi lima bagian
Aku menangis di sekeliling awan
Karena riak
Buihnya pecah jadi perih untuk kesekian kali
Aku menyulap pagi menjadi kebermulaan sebuah penyelesaian
Dan selamanya menjadi kefanaan
Di pinggir, aku masih menunggu
Kamu
menepi
berhenti
seperti di perempatan jalan sore hari
aku menunggu, menghitung daun gugur
trotoar sampai memerhatikan aku
katanya, untuk apa aku
diam
katanya, bisa saja aku
pergi
katanya, lebih baik aku
lalui
di perempatan itu, ada analogi
dalam jam dinding
dan detiknya
dan secangkir teh pahit sebelum tidur
sepekat itu aku memikirkan kamu
selama itu aku bermain dengan dimensi waktu
kau ketahui, sudah tiga hari aku tidak bisa tidur
namamu menjadi penyumbat pembungkus nadi
dan kau lari,
membawa degupanku
dan kau pergi,
membawa peparu
aku perlu
menyadur ulang
kata
seperti aku perlu
memilah
yang tidak kentara
s
se
sel
sela
selal
selalu
tidak perlu lagi penjelasan
apalagi kau selebih pengertian.
Friday, February 24, 2012
never mind
setelah enam tahun berjalan, barangkali
namamu tetap yang di dalam sini
setelah melewati cerita pahit, berkali-kali
jalanku selalu bertaut padamu, kembali
pernah beberapa saat menghilang
tak kentara
pernah aku coba lupa
tetap ada
dengarkah? kaukah?
mengapa mesti meraung menjerit?
itukah? sakit? kamu kah?
mengapa mesti dibutakan sendiri
tidak sengaja aku merangkul
untuk buat kau berdiri
untuk buat senyummu
terpatri
sadari.
namamu tetap yang di dalam sini
setelah melewati cerita pahit, berkali-kali
jalanku selalu bertaut padamu, kembali
pernah beberapa saat menghilang
tak kentara
pernah aku coba lupa
tetap ada
dengarkah? kaukah?
mengapa mesti meraung menjerit?
itukah? sakit? kamu kah?
mengapa mesti dibutakan sendiri
tidak sengaja aku merangkul
untuk buat kau berdiri
untuk buat senyummu
terpatri
sadari.
Dan hari ini kecewa merobek mimpi tadi malam
Tidak ada hujan, hanya bau tanah yang menyengat
Lalu mataku, menikam mega
Dari bianglala kemarin lantas mengaduh
Menjadi cerita usang seperti rumput sunyi
Menunggu daun daun jati jatuh dan menyanyikan tangga nada suara parau
Seperti aku memahamimu
Tidak ada hujan, hanya bau tanah yang menyengat
Lalu mataku, menikam mega
Dari bianglala kemarin lantas mengaduh
Menjadi cerita usang seperti rumput sunyi
Menunggu daun daun jati jatuh dan menyanyikan tangga nada suara parau
Seperti aku memahamimu
Bahkan langit tidak bisa mendefinisi, ia menjadi mega yang tidak kuasa merangkum kata, hujan tidak memayungi seluruh rasa.
Perlahan tirai hidup itu mereda
Andaikan, andaikan kamu melihatnya, melihat bersamaku
Nila dan jingga, ia menggenit genang gerimis
Aku mendengar Ia mengalunkan sebuah simfoni,
Bersamamu, kembali, bagai menjemput bidadari dari langit
yang terakhir
saat malam memanggil.
Bersamamu, kembali, bagai tersentuh tirai hujan, walau tak ada ucapan, kusebut kenangan
bersamamu, bersama warna hati
Siapa bilang bidadari
Selalu bersayap baik hati
Nyatanya kau disini
Senyumanmu melebihi
Siapa bilang bidadari
Kecil mungil terbang tinggi
bersamamu kan ku jemput
Matahari yang datang esok pagi
Perlahan tirai hidup itu mereda
Andaikan, andaikan kamu melihatnya, melihat bersamaku
Nila dan jingga, ia menggenit genang gerimis
Aku mendengar Ia mengalunkan sebuah simfoni,
Bersamamu, kembali, bagai menjemput bidadari dari langit
yang terakhir
saat malam memanggil.
Bersamamu, kembali, bagai tersentuh tirai hujan, walau tak ada ucapan, kusebut kenangan
bersamamu, bersama warna hati
Siapa bilang bidadari
Selalu bersayap baik hati
Nyatanya kau disini
Senyumanmu melebihi
Siapa bilang bidadari
Kecil mungil terbang tinggi
bersamamu kan ku jemput
Matahari yang datang esok pagi
Tuesday, February 21, 2012
Di mataku
terpantul
kedua matamu
di jiwaku
terpaut
satu
hatimu
di mataku
mengalir arus
deras
dari telaga matamu
di jiwaku
ada suara mendayu
merdu
nyanyian jiwamu
Februari 2012
terpantul
kedua matamu
di jiwaku
terpaut
satu
hatimu
di mataku
mengalir arus
deras
dari telaga matamu
di jiwaku
ada suara mendayu
merdu
nyanyian jiwamu
Februari 2012
Sunday, February 19, 2012
Sepertinya
sepertinya ini rasa mulai jatuh cinta
saat kamu tidak ada, aku hampa
sepertinya kamu mulai mengesalkan
saat kamu dengan yang lain, melainkan
sepertinya aku ketergantungan
karena biasanya kamu selalu memenuhi permintaan
sepertinya ini mulai menjengkelkan
aku tidak lagi di prioritaskan
sepertinya aku...
saat kamu tidak ada, aku hampa
sepertinya kamu mulai mengesalkan
saat kamu dengan yang lain, melainkan
sepertinya aku ketergantungan
karena biasanya kamu selalu memenuhi permintaan
sepertinya ini mulai menjengkelkan
aku tidak lagi di prioritaskan
sepertinya aku...
Tuan, boleh kuantar kau ke kepalaku? Kuperlihatkan jejak jejak rindu yang memenuhi nebulaku
Tuan, boleh kuantar kau ke arus nadiku? Kuperlihatkan rasa yang berlayar menembus jantung dan karam di hatiku.
Tuan, boleh kuantar ke mataku? Kuperlihatkan tikaman tajam yang kau tinggalkan saat sorotmu menatapku.
Tuan, boleh kuantar kau ke jemariku? Dimana setiap sidiknya ingin menyelimuti pori kulitmu
Tuan, boleh kuantar kau ke mimpiku? Dimana saat mataku terpejam, aku menculik sedikit kamu dan kutawan pada bunga tidurku.
Tuan, boleh kuantar kau ke peparuku? Kau bisa lihat, bagaimana aku pernah sesak dalam nafas cemburu.
Tuan, boleh kuantar kau ke langit langit kepalaku? Kau bisa lihat, bintang bintang yang ada disana, semua tercipta dari senyummu
Tuan, jika itu memang kamu. Jelajahi waktu, semaumu.
-AR
Tuan, boleh kuantar kau ke arus nadiku? Kuperlihatkan rasa yang berlayar menembus jantung dan karam di hatiku.
Tuan, boleh kuantar ke mataku? Kuperlihatkan tikaman tajam yang kau tinggalkan saat sorotmu menatapku.
Tuan, boleh kuantar kau ke jemariku? Dimana setiap sidiknya ingin menyelimuti pori kulitmu
Tuan, boleh kuantar kau ke mimpiku? Dimana saat mataku terpejam, aku menculik sedikit kamu dan kutawan pada bunga tidurku.
Tuan, boleh kuantar kau ke peparuku? Kau bisa lihat, bagaimana aku pernah sesak dalam nafas cemburu.
Tuan, boleh kuantar kau ke langit langit kepalaku? Kau bisa lihat, bintang bintang yang ada disana, semua tercipta dari senyummu
Tuan, jika itu memang kamu. Jelajahi waktu, semaumu.
-AR
Subscribe to:
Posts (Atom)