google.com |
Sejenak kita berhadapan, aku menoleh. Hidungmu hanya berjarak dua senti. Bibir setipis itu dibuat pasi. Wajahmu memucat karena suhu sepuluh derajat.
Dan awan selalu pindah cepat-cepat, namun detak detik waktu serasa kian melambat. Andai kau tahu, bagaimana rasanya jatuh cinta sebegini istimewa. Andai kau tahu, untuk kedatanganmu, aku banyak cerita kepada Maharasa.
Lagi, Aku mengadah mencari galaksi. Kamu merapatkan tubuh, aku mencari tanganmu. Kau dan aku melumat hening. Berdua memeluk pagi. Sesampai embun menyampaikan matahari. Jika aku meminta abadi, kurasa itu tidak terlalu tinggi.
Tetapi mataku kembali menyelasar ke samping. Memang matamu ternyata indahnya lebih dari bima sakti. Walau di langit menyemut milyaran, sepasang coklat terang selalu berhasil membuatku betah menyelam, diam-diam.
Tanganku kau genggam, aku sebentar memejam. Kau masih bisa tersenyum dengan dingin mencucuk belulang. Kau memintaku untuk lelap dalam kejap. Aku mencintai malam, sayang. Mana bisa? Mataku menyipit berkelit. Enggan tercebur dalam mimpi, tanganku mengarah ke langit.
Ada bintang jatuh di sana. Pun kamu melihatnya.
Pemandangan yang sangat nadir.
Tetapi mataku kembali menyelasar ke samping. Labirin di matamu melirih. Pekat menatap. Kau tahu, pada bulan yang separuh itu, aku berjanji untuk tidak memetik kristal-kristal airmata karena sakit yang terlampau.
Maaf, kekasihku.
Air mataku menderas di dada.
Permohonan ini kulayangkan pada satu mesta, seluruh isinya, beserta.
Waktu kehilangan suaranya, hening mempepat.
Embun turun sebentar. Dengan tatap nanar, cerlang pagi mengintip kami.
"Tak ada semesta tempat rinduku berlari selain hatimu.
Rentang cintamu seluas cakrawala,
dimanapun aku berada, rinduku menjejak dibawahnya”
Biarkan senyum menjadi bentuk penghayatan kita paling dalam.
Berdua,
di bawah bebintang dan langit yang semakin dekat jaraknya.
andai matamu, melihat aku.
andai matamu, melihat aku.
Juli 2015.
No comments:
Post a Comment