Pada suatu hari yang hujannya deras sekali.
Ada seloyang pizza stuffed crust yang hampir habis, kartu remi, sebotol anggur, sisa kacang tanah dalam bungkus plastik, dan televisi yang terus menyala. Dia meneriakiku dengan parau suara, mata yang menahan airnya, dan tubuh yang menolak untuk rubuh.
Aku cuma bisa duduk di sampingnya, mengelus rambut yang anaknya banyak sekali. Sepinggang, tidak pernah lebih pendek atau lebih panjang. Mendengar napas yang terburu-buru, menunggu hingga Ia lebih tenang, baru rencananya akan Aku mulai bicara.
Tidak pernah mudah membuatnya membuka mulut. Harus nyaman dulu, selalu begitu.
Pada suatu hari yang hujannya deras sekali.
Ada mobil yang berhenti tetiba, di kiri trotoar Jalan Pelajar Pejuang, tidak berniat menepi. Ia turun dan membiarkan dirinya basah kuyup. Aku hanya takut dia kedinginan dan nantinya meriang. Badannya langsing tinggi, sedikit kurang lemak. Semakin aneh, Ia terus berjalan, dengan tas, sepatu, rok rajut yang kutahu merknya mahal semua.
Pada suatu hari yang hujannya deras sekali.
Ia hanya menyodorkan telapak tangannya untuk kugenggam. Wajahnya jelita, namun terlihat angkuh karena tak ada senyum sama sekali. Halus kulitnya, dan selalu hangat. Mungkin yang lahir pagi ini bukan ketenangan baginya, mungkin memang belum ketemu. Tapi kuperhatikan, Ia selalu mencari. Keping yang tidak pernah diketahui keberadaannya sama sekali.
Aku juga jadi ikut bingung.
“Akhirnya tangismu berhenti, masih kosong?”
Tanpa jawaban.
“Ruangnya sudah diperbaiki?”
Masih, tanpa jawaban.
Tolong beritahu Aku bagaimana caranya untuk bisa menembus galaksi mini yang ada di kepalanya. Hanya senyum yang tipis keluar setelah dua pertanyaan itu terlontar. Dan Ia peluk Aku dalam-dalam.
2022