Mara menutup mata,
malam kali ini terasa amat panjang dan melelahkan. Ada yang hampa dan terus
terbawa, setelah bertahun lamanya mencari apa yang ternyata tidak bertepi. Berlari, menyalahkan yang telah terjadi. Menganggapnya sebagai ilusi, seringkali. Mara lelah menangis, airmatanya
tidak lagi jatuh dari bola yang kiri.
Mara hampir saja
berpikir bahwa hidupnya adalah monolog. Usia yang semakin matang hanya Ia jalani seperti sebuah sketsa dengan dialog bisu. Ramai oleh sunyi. Perjalanannya adalah sebuah
teater yang dilakoni sendiri. Tanpa perlu ada apa-apa, tanpa perlu ada
siapa-siapa.
Ia sedang menyelesaikan bait terakhir puisinya ketika lelaki itu
kembali datang.
Delmara. Delmara Alfa.
Kau lahir dari lautan?
Iya. Tahu dari mana
arti namaku?
Bukan. Bukan dari nama.
Ada perlu apa kau
datang kemari?
Pertanyaan seperti itu melukai hatiku.
Aku harap kau bukan
sebuah delusi. Aku kemari tidak sedang menjadikanmu sebagai barangkali.
Kuharap suatu saat kau punya minat selain
mencurigaiku.
Mara menunduk. Tersenyum, tetapi wajahnya tanpa citra jiwa. Pada
malam-malam yang meresahkan hati, hanya dalam keadaan itulah, dengan pria itu
dalam pelukannya, Ia bisa
tertidur. Mara mengutuk
pikirannya sendiri yang seolah tak mau berhenti.
Aku
tidak ingin ada yang selesai di antara kita.
Pria itu membenamkan wajahnya di lekukan leher Mara.
Mara tahu
Tuhan meletakkan keindahan pada tempat-tempat yang tepat. Mara ingin bersangka bahwa Tuhan sedang
menggambarkan ilustrasi untuk dipahami. Berharap pria itu bukan sekedar
empat musim yang selang berganti.