"Menurutmu, mengapa kamu dan aku
bisa?"
Padahal berdua kita dalam kesalahan.
"Bisa apa?"
Entahlah, rasanya seperti aku
mengenalmu barang setahun-dua tahun,
"Bisa gila. Karena kapan kita akan bersama?"
Aku memotong, “tiga bulan saja
belum.”
“manis ya mulutnya sekarang”
“wait… do you even pray?”
Angin Jakarta nampaknya tidak
ingin mengganggu kita berdua. Di balkon lantai tiga,(tempat dimana kau mulai
menulisi dinding-dinding
pikiran)-yang
asalnya, padahal aku hanya ingin sekedar melihat lebih indah mana purnama dari rooftop ataukah darisana. Bukan menjadi roman picisan yang kerjaannya
hanya menggumam dan menjadikanmu sebagai lamunan, bukan memastikan bahwa lift
yang terbuka sendiri pintunya itu adalah akibat jahilnya setan.
“kenapa
di sini?” kau datang,
“sepi.”
Sahutku tanpa menolehkan mata
"Aku mau baca. Jangan ganggu."
"Oh okay, belum pulang?"
Kau menjadi kisah yang tak pernah
aku ceritakan,
menjadi lagu yang tak pernah aku
nyanyikan,
menjadi puisi yang tak pernah aku
selesaikan.
Berulang.