Pada satu kesempatan, aku bertanya kepada cinta mengapa Ia diciptakan. dalam sebuah jalan-jalan kecil, cinta menghancurkan semua yang jadi perkiraan, yang diduga rencana. yang tertata-titi rapi.
saya bertanya mengapa cinta ada. apa karena rindu jadi bumbu? apa karena bibir beradu dan malam yang membuat kami bercumbu itu? atau karena--
kutelan semua percakapan pukul empat di satu kedai kopi
kecil. mendengar semua mimpi-mimpimu yang dirasa mustahil. pun kopi di kedai itu tak terasa begitu enak. namun sore jadi
begitu manis. kau juga sanggup memberhentikanku membaca antologi sajak
yang baru saja kubeli di Gramedia. kau membuat jauhku penasaran dari pada Seno Gumira, untuk menyelami hal yang lebih dalam dari senja;
kau dan kehidupan.
cinta mengajakku berjalan-jalan. katanya tolong kencangkan tali sepatu.
entah dia membawaku kemana, menyusuri jalanan ibukota yang ramai bukan kepalang; atau menepi ke sawah-sawah yang berpematang. cinta juga membawaku ke riuhnya kelab malam--mengajakku bergoyang; pinggulnya cinta sintal sekali. aku menenggak sebotol whiski. banyak juga yang berciuman, namun mata-matanya penuh dengan air. pemandangan yang sungguh ironi.
hampir aku mengajaknya berhenti sampai di sini. di tengah lantai dansa, Ia berbisik; hidup bukan hanya tentang hitam dan putih. nanar mata ini, dentuman musik kencang melantakkan ingatan. mending aku hidup penuh hura daripada galau huru-hara.
cinta sadar bahwa pengang ini melenakan. aku diajaknya melanjutkan;
kau dan kehidupan.
kupasrah ketika cinta membawaku menapaki perbukitan, jauh di atas langit ada kelepak elang. bulunya rontok dan jatuh tepat di alis mata. di tengah perjalanan, luka dari waktu yang lama terasa perih kembali. kutanya padanya.
kata cinta;
tak usah terlalu berhati-hati.
tepat matahari di tengah ubun, tepat elang itu berkicau berkali-kali. ini sampai berapa lama, cinta? kalau begini aku ingin lari saja.