Merona
tersesat, di hadapannya membentang lautan dan gunung pasir. Kakinya tak kunjung
melangkah. Ia pikir ini mimpi yang jauh membuatnya lebih hidup. Kegelisahan demi
kegelisahan menjadi raut asah. Kepalanya pening, dadanya sesak, kulitnya
dilabur ruam. Ombak yang sedari dulu menjadi sahabat, kini menciptakan ruat. Ia pikir ini labirin, waktu sedang mengoloknya. Ia berlari, di tiga dini hari.
Merona
membutuhkan Petang. Lelaki delapan tahunnya. Sebelum memutuskan untuk pergi, Merona titipkan
beberapa kunci. Termasuk kunci ke dalam jiwanya. Kunci berwarna abu kehitaman
karena karat. Celakanya, Merona tak pernah berencana untuk menduplikat. Satu tahun lalu, Petang
menelan kunci itu dan menyimpannya rapat.
Senja
hari ini sedikit tidak membantu, Cuaca Jakarta kadang menipu, namun lari ini
tak bisa diganggu. Merona gelisah, penuh peluh. Petang masih dengan cangkir kopinya,
duduk dengan tenang.
“Persinggahan
memang selalu seperti itu, Petang. Ia akan menyatu dengan perpisahan. Entah
berujung pilu, entah akan berakhir haru. Terkadang persinggahan juga
menyelamatkan, untuk sementara waktu, hingga akhirnya bertemu dengan waktu
untuk memulangkanmu.”
Di
luar jendela, tidak banyak warna selain jingga, putih dan biru. Selain itu cuma
ada derau. Merona kembali berapriori.
“Berhenti
berpikir, Perempuanku.”
“Aku
tak merasa rugi dengan masa lalu. Tidak pernah sekali pun begitu.”
Angkasa
menjadi riuh bagai taman bermain. Klakson-klakson terdengar bagai klarinet, ritmis. Tanpa notasi.
“Petang,
kisah kita bukan kompendium. I’m afraid…” tanpa menyelesaikan kalimat,
perempuan itu menenggelamkan wajahnya ke bahu lelaki. Petang mendekapnya dalam-dalam.
“Katakanlah
ini pertemuan terakhir, Kau ingin apa, Merona?”
“Selembar
surat, dilipat, dimasukan ke dalam amplop ungu.”
“Itu
saja?”
“Saya
minta sertakan satu lagi.”
Petang
mengerenyitkan dahi, Ia tahu betul permintaan perempuannya kadang tak masuk
akal.
“Saya
minta sepotong matamu di sana, tanpa darah. Masukan ke dalam amplop yang sama
....sehingga ketika nanti waktunya saya baca surat ini, Saya akan lepas bola mata, dan akan
saya ganti dengan milikmu.”
"Boleh. Apapun untukmu."
"Agar saya bisa ingat, bisa melihat, bagaimana kisah ini bahagia dari sudut pandangmu."
Di
apartemen sempit ini, nasib sedang tak ingin berbagi ruang kecuali dengan kenangan. Menanti harap
pertemuan di pintu kedatangan. Dan sama seperti engkau yang sedang mencari
makna dalam tulisan ini;
Percayalah, Merona pun tak mengerti.
Desember 2020